Ketika Abul Hasan Asy-Syadzili Menganjurkan Makan Minum dan Tidur Enak

Table of Contents
Dibaca normal 3 menit

Syukur nikmat dunia

Dalam kitab al-Minahus Saniyyah karya Abdul Wahab asy-Sya’rani diceritakan ...

Bahwa Syekh Abul Hasan asy-Syadzili suatu ketika pernah berkata kepada para sahabatnya: “Makanlah kalian makanan yang paling baik. Minumlah minuman yang paling segar. Tidurlah di atas kasur yang empuk, dan berpakaianlah dengan sebaik-baiknya pakaian.”

Sepintas dapat dipahami, bahwa dari perkataan Syekh As-Syadzili di atas kita dianjurkan untuk hidup dengan sebaik-baiknya perkara, seakan-akan seperti bersenang-senang dengan kenikmatan dunia. Benarkah demikian?

Lanjut beliau ...

“Apabila salah seorang di antara kalian melakukan hal itu, kemudian bersyukur seraya mengucap alhamdulillah, maka seluruh anggota badan ikut bersyukur juga kepada Allah.”

“Berbeda sekali apabila seseorang yang makan makanan yang tidak enak, minum minuan yang kurang segar, memakai pakaian yang kasar, tidur di atas lantai, kemudian mengucapkan alhamdulillah. Namun ia mengucapkannya disertai perasaan menggerutu atas kesusahan dan juga kebencian atas takdir Allah swt.”

“Seandainya dia bersedia melihat dengan mata hati, pasti dia akan menemukan bahwa sikap menggerutu dan membenci yang dia lakukan itu dosanya lebih besar daripada orang yang bersenang-senang dengan kebendaan dan kemewahan dunia.”

“Sebab orang yang bersenang-senang dengan kebendaan dunia itu masih pada batas melakukan perkara yang diperbolehkan Allah. Namun orang yang di dalam hatinya terdapat perasaan menggerutu dan benci terhadap ketentuan Allah itu sungguh telah melakukan perkara yang diharamkan Allah.”

Kesimpulannya...

Menurut penulis, ada 2 inti yang bisa diambil dari nasihat syekh asy-Syadzili di atas.

Pertama, pentingnya menata hati (niat) untuk bersyukur terhadap segala bentuk nikmat yang dianugerahkan Allah swt. Ntah nikmat yang kita anggap besar atau kecil. Dan

Kedua, bahwa beribadah dalam Islam itu tidaklah menyulitkan. Setiap orang yang mengumpulkan harta benda duniawi dapat disebut ibadah, selama ia meniatkannya dalam rangka bersyukur (sekaligus tafakkur) atas kebesaran Allah swt atau sebagai lantaran mendekatkan diri kepada-Nya.

Begitu juga ketika seseorang merasa kesulitan harta benda, ia dapat beribadah, yakni meniatkan diri untuk bersabar dalam menghadapi ujian yang Allah berikan, yang berupa ujian rasa takut dan kekurangan harta benda (baca Tafsir Al-Mishbah surah Al-baqarah ayat 155: Hidup Adalah Ujian).

Wa Allah a’lam.

Achmad Syarif S
Achmad Syarif S Saya seorang santri dan sarjana pertanian. Menulis adalah cara saya bercerita sekaligus berwisata

Post a Comment