Selamanya Santri, Sebisanya Kudu Bisa Berkontribusi

Table of Contents
Santri ponpes wahid hasyim Yogyakarta

Santri. Sebuah status yang “tersandang” oleh kaum terpelajar “pe-santri-an” (pesantren). Ia tersandang, karena secara otomatis, siapapun yang dianggap pernah “nyantri”, maka ia pun telah menjadi santri.

Ini merupakan sebuah pengalaman pribadi. Bahwa seorang alumni pesantren (bukan alumni santri) telah banyak di-husnuddzon-i masyarakat sebagai sosok yang sudah memiliki atribut keilmuan Islam yang mumpuni.

Santri, calon kiai. Atau minimal santri adalah yang dijadikan rujukan pertama perihal keagamaan di lingkungan hidupnya nanti. Begitulah pandangan masyarakat umum yang sedikit banyak penulis ketahui dan alami.

Ibarat Air Masak, Pelepas Dahaga Para Khalayak

Di antara nasihat para guru ketika awal orientasi nyantri dulu, bahwa salah satu permisalan santri di tengah masyarakat adalah seperti halnya air (yang sedang/telah) masak yang siap dikonsumsi dan menjadi penghilang haus-dahaga.

Betapa manfaatnya bisa menyehatkan raga, menguatkan jiwa, menjernihkan akal dalam berkarya, membersihkan hati dalam merasa.

Maka sebagai santri di manapun berada, sepantasnya mampu (baca: mau) memantaskan diri untuk siap sedia ‘mengobati dahaga’ orang lain di sekitarnya. Di antara caranya adalah dengan ...

Berkontribusi Sebisanya, Meski Nyatanya Tak Semuanya Bisa

Kita mengenal satu kaidah fiqih yang masyhur mengatakan,

مَا لَا يُدْرَكُ كُلُّهُ لَا يُتْرَكُ كُلُّهُ

Nek ora iso dilakoni kabeh, ojo ditinggalno kabeh

Sesuatu apabila tidak bisa dilakukan semuanya, maka janganlah ditinggal semua. Adalah satu landasan berpikir penulis, yang selaku alumni pesantren, tidak sepantasnya berdiam diri (mendiamkan diri) atas pengalaman keilmuan yang telah banyak diperoleh di pesantren.

Sak isone, sitik-akeh kudu iso awih kontribusine”.

Meski tak banyak ilmu yang diboyong, tetapi tak lantas itu menjadi alasan kita tak mau menolong, utamanya dalam bentuk pengajaran, pengamalan, baik secara langsung bertatap muka, maupun melalui media maya yang bisa kita jadikan lorong.

Santri pondok pesantren wahid hasyim

Maka sejak awal kita, penulis dan teman-teman semua, meskipun telah menjadi alumni pesantren, tetapi tak lantas menjadikan kita alumni santri. Boleh jadi kita berpisah dari pesantren sebagai rumahnya, tetapi kita tak akan bisa berpisah dari santri sebagai jiwanya.

Walaupun nyatanya sudah menjadi alumni pesantren, kita tetap saja harus mengaku sebagai santri. Selamanya santri, yang belajar-mengaji setiap hari tanpa henti. Kita punya banyak teman, banyak guru, kiai, hingga kitab-kitab karya para alim-ulama yang bisa setiap waktu kita tekuni.

Sak isone, sitik-akeh kudu awih manfaate”.

Baik di pondok atau tidak di pondok, apabila anda mempunyai sifat tawadhu', menghormati orang tua, guru, kiai, dan tidak berhenti belajar, anda adalah santri (KH. Ahmad Mustofa Bisri)

Bisanya berdakwah, maka mari berdakwah. Meskipun sebatas tulisan yang diposting dalam media sosial, atau sepintas akhlak yang tunjukkan kepada tetangga dan warga sekitar.

Sedikit banyak, berproses menjadi penawar haus-dahaga, mengabarkan bahwa Islam itu mudah, agama itu indah.

Sembari tetap ikhtiyar dalam i’tikad menuntut ilmu sepanjang hayat, mudah-mudahan kita semua tergolong ummat Rasulullah yang bakal memperoleh syafaat, bersesuaian dengan dawuh beliau yang semoga senantiasa membawakan kita barokah-manfaat.

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَنمِسُ فِيْهِ عَلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ ~ الحديث أو كما قال

Tabik,

Referensi Quote: Santri menurut Gus Mus via instagram

Achmad Syarif S
Achmad Syarif S Saya seorang santri dan sarjana pertanian. Menulis adalah cara saya bercerita sekaligus berwisata

Post a Comment