Allah Al-Jabbar, Yang Kehendaknya Tidak Diingkari (10)
Al-Jabbar, oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Buku Menyingkap Tabir Ilahi dimaknai dengan Yang Kehendaknya Tidak Diingkari.
Berikut kutipan ringkas makna nama Allah tersebut.
*
Al-Jabbar terambil dari akar kata jim, ba, dan ra, yang mengandung makna keagungan, ketinggian, dan istiqamah.
Kata ini sebagai sifat Allah hanya kita temukan sekali dalam Al-Qur’an, yakni dalam QS. Al-Hasyr ayat 23. Selainnya, delapan kali sebagai sifat manusia yang menunjukkan keburukan pelakunya.
Makna Al-Jabbar
Al-Biqa’iy dalam bukunya “Nazem Addurar” menafsirkan kata Jabbar dengan, “Yang Maha Tinggi, sehingga memaksa yang rendah untuk tunduk kepada apa yang dikehendakinya.”
Ini berarti, kalaupun kita berusaha menjangkau ketinggian-Nya, maka Dia akan memaksa kita, sehingga semua bertekuk di hadapan-Nya.
Dari sini kemudian kata Jabbar biasa diartikan Yang Maha Pemaksa, atau Yang Maha Perkasa, karena pemaksaan dan keperkasaan itu berkaitan dengan kekuatan, kekuasaan, dan kekerasan.
Berakhlak dengan Al-Jabbar
Kalau kita memahami akar kata jabbar dalam arti menumbuhkan, menutup, dan memperbaiki agar tetap dalam keadaannya semula (istiqamah), maka Allah Al-Jabbar adalah yang memperbaiki dan mengembangkan apa yang rusak dan kurang dari hamba-hamba-Nya.
Kita sebagai manusia, dalam hidup kita pasti pernah mengalami berbagai goncangan yang dapat melumpuhkan kita. Kemiskinan mengancam, ketakutan mencekam, penyakit menerjang, kesedihan memuncak, hati gundah, pikiran kacau, dan masih banyak lagi yang merisaukan.
Di sinilah Allah sebagai Jabbar, meluruskan apa yang bengkok, memperbaiki apa yang rusak, menghilangkan kecemasan dan menampik kerisauan, mengampuni dosa dan memaafkan kesalahan. Sehingga keadaan kembali sebagaimana sediakala.
Pemaknaan Jabbar yang kedua ini, jika dapat kita teladani, maka kita akan tampil terlebih dahulu menutupi kekurangan-kekurangan diri kita. Kita akan mendidik, mengasah, dan mengasuh jiwa kita agar tidak terombang-ambing oleh pergantian siang dan malam. Demikian menurut Sufi besar Al-Qusyairi.
Selanjutnya, kita juga akan berusaha untuk membantu sesama sehingga mampu bangkit dari kejatuhan, bergembira setelah dirundung kesedihan, berkecukupan selepas mengalami kekurangan, sehat sesudah mengidap penyakit, dan tentunya mendekatkan diri kepada Allah setelah terpuruk oleh rayuan setan.
Wa Allah a’lam.
Diringkas dan dikutip dari referensi:
Menyingkap Tabir Ilahi; Asma al-Husna dalam Perspektif Al-Qur’an, karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab hlm. 65—69.
Post a Comment