Telaah Kaidah Fiqh Pada 3 Masalah Yang Sering Dialami Musafir

Table of Contents
Hukum halal dan haram

Setiap orang yang bepergian (musafir) seringkali dihadapkan pada pilihan antara mengambil rukhshah (keringanan), seperti jama’ (mengumpulkan shalat dalam satu waktu) dan qashar (meringkas bilangan raka’at shalat). Kebanyakan lebih memilih mengambil rukhshah, ketika safar (bepergiannya) seseorang telah memenuhi syarat dan ketentuan melaksanakan rukhshah tersebut.

Namun tak jarang, kita dihadapkan pada keadaan, di mana musafir dibenturkan pada dua posisi, yakni posisi di perjalanan (safar) dan posisi di tempat asal atau tempat bermukim (hadhar).

Terkait hal di atas, penulis beberapa kali menjumpai masalah secara langsung, di antaranya:

  1. Pada posisi safar, musafir berniat meng-qashar dan men-jama’ shalatnya, tetapi ia bermakmum pada imam yang melaksanakan shalat secara sempurna selayaknya orang yang mukim (hadhar).
  2. Musafir yang masih di posisi hadhar berniat men-jama’ taqdim shalatnya. Atau dengan kata lain, ia melaksanakan shalat jama’ taqdim  tetapi ia masih berada di tempat mukimnya (belum keluar dari daerah mukimnya).
  3. Musafir pada posisi safar berencana (ber-azam) men-jama’ ta’khir shalatnya. Namun jama’ ta’khirnya dilakukan ketika sudah kembali ke tempat asalnya (hadhar).

Kaidah Fiqh melihat ketiga masalah di atas dengan berfokus pada rukhsah, yang diperbolehkan (halal) pada posisi safar, tetapi dilarang (haram) pada posisi hadhar. Ini tercermin dari Kaidah Fiqh Aghlabiyyah yang kedua, yang berbunyi:

إِذَا اجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ غُلِبَ الْحَرَامُ

“Apabila halal dan haram berkumpul, yang dimenangkan adalah yang haram.”

Masalah I: Musafir Makmum Pada Orang Mukim

Menukil keterangan dari Buku “Formulasi Nalar Fiqh”; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual Jilid II, bahwa seorang musafir yang bermakmum pada orang mukim diwajibkan menyempurnakan shalatnya, sebagaimana kewajiban penyempurnaan shalat bagi orang mukim.

Hal ini disebabkan, meskipun dirinya adalah musafir yang boleh (halal) meng-qashar shalat, namun karena ia bermakmum kepada orang muqim yang tidak boleh (haram) meng-qashar, maka sisi hadhar-lah yang lebih diutamakan.

Masalah II: Shalat Jama’ Taqdim di Tempat Mukimnya

Seperti halnya kasus pertama di atas, bahwa yang dinamakan jama’ (baik taqdim maupun ta’khir) mrerupakan rukhshah yang diperuntukkan bagi musafir (pada posisi safar). Apabila seseorang melaksanakan rukhshah pada posisi hadhar (tempat muqimnya), maka tidak diperbolehkan.

Masalah III:  Jama’ Ta’khir Ketika Sampai di Tempat Mukim

Tidak berbeda jauh dengan kasus kedua, bahwa rukhshah itu dilarang (haram) dilakukan pada posisi hadhar, karena hanya boleh (halal) dilakukan pada posisi safar. Seorang musafir yang sudah terlanjur sampai tempat mukimnya tetapi belum melaksanakan shalat jama’ ta’khir, maka ia wajib shalat sebagaimana shalatnya orang mukim, yakni meng-qadha’ salah satu shalat yang sudah terlewat waktunya.

Kesimpulan

Pada intinya, apabila seseorang menemui dua perkara yang berkumpul, yang satu halal (dalam hal ini, boleh melakukan rukhshah) dan satunya haram (dilarang melakukan rukhshah), maka yang berlaku baginya adalah perkara yang haram itu (dilarang melakukan rukhshah).

Kaidah di atas sebenarnya memiliki sub kaidah yang khusus membahas masalah hadhar dan safar, yaitu:

إِذَا اجْتَمَعَ فِي الْعِبَادَةِ جَانِبُ الْحَضَرِ وَ السَّفَرِ غُلِّبَ جَانِبُ الحَضَرِ

“Jika dalam satu ibadah berkumpul antara sisi rumah dan sisi perjalanan, maka yang dimenangkan adalah sisi rumahnya.”

Hukum musafir

Wa Allah a’lam.

Achmad Syarif S
Achmad Syarif S Saya seorang santri dan sarjana pertanian. Menulis adalah cara saya bercerita sekaligus berwisata

Post a Comment