Akhirat Diutamakan, Bagian Dunia Jangan Dilupakan (Al-Qashash: 77)

Table of Contents

Surah al-Qashash ayat 77 bisa menjadi panduan kita dalam menata (kembali) tujuan hidup kita, antara kepentingan dunia dan akhirat, serta pengingat supaya kita senantiasa berbuat baik dan menghindari sifat-sifat yang merusak.

Berikut kutipan dari Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Mishbah-nya.

~

﴿وَٱبۡتَغِ فِیمَاۤ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡـَٔاخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِیبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡیَاۖ وَأَحۡسِن كَمَاۤ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَیۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِی ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا یُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِینَ﴾ [القصص: ٧٧]

Dan carilah - pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu - negeri akhirat, dan janganlah melupakan bagianmu dari dunia, dan berbuat baiklah, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah engkau berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai para pembuat kerusakan.”

Banyak pendapat menyangkut kandungan pesan ayat di atas, ada yang memahaminya secara tidak seimbang, dengan menyatakan bahwa ini adalah anjuran untuk meninggalkan kenikmatan duniawi dengan membatasi diri pada kebutuhan pokok saja seperti makan, minum, dan pakaian. Ada juga yang memahaminya sebagai tuntunan untuk menyeimbangkan kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi. Penganut pendapat ini tidak jarang mengemukakan riwayat yang menyatakan: “Bekerjalah untuk duniawi seakan-akan engkau tidak akan mati, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok.”

Agaknya ada beberapa catatan penting yang perlu digarisbawahi tentang ayat ini, agar kita tidak terjerumus dalam kekeliruan.

Pertama, dalam pandangan Islam, hidup duniawi dan ukhrawi merupakan satu kesatuan. Dunia adalah tempat menanam dan akhirat adalah tempat menuai. Apa yang anda tanam di sini, akan memperoleh buahnya di sana. Islam tidak mengenal istilah amal dunia dan amal akhirat. Kalaupun ingin menggunakan istilah, maka kita harus berkata bahwa: “Semua amal dapat menjadi amal dunia - walau shalat dan sedekah - bila ia tidak tulus.” Semua amal pun dapat menjadi amal akhirat jika ia disertai dengan keimanan dan ketulusan demi mendekatkan diri kepada Allah, walaupun amal itu adalah pemenuhan naluri seksual.

Kedua, ayat di atas menggarisbawahi pentingnya mengarahkan pandangan kepada akhirat sebagai tujuan dan kepada dunia sebagai sarana mencapai tujuan. Ini terlihat jelas dengan firman-Nya yang memerintahkan mencari dengan penuh kesungguhan kebahagiaan akhirat: pada apa yang dianugerahkan Allah atau dalam istilah ayat di atas fi ma ataka Allah. Dengan demikian, semakin banyak yang diperoleh - secara halal - dalam kehidupan dunia ini, semakin terbuka kesempatan untuk memperoleh kebahagiaan ukhrawi, selama itu diperoleh dan digunakan sesuai petunjuk Allah swt. Itu juga berarti bahwa ayat ini memang menggarisbawahi pentingnya dunia, tetapi ia penting bukan sebagai tujuan namun sebagai sarana untuk mencapai tujuan.

Ketiga, ayat di atas menggunakan redaksi yang bersifat aktif ketika berbicara tentang kebahagiaan akhirat, bahkan menekannya dengan perintah untuk bersungguh-sungguh dan dengan sekuat tenaga berupaya meraihnya. Sedang perintahnya menyangkut kebahagiaan duniawi berbentuk pasif yakni, jangan lupakan. Ini mengesankan perbedaan antara keduanya. Dan harus diakui bahwa memang keduanya sangat berbeda. Berulang kali Allah menekankan hakikat tersebut dalam berbagai ayat, antara lain firman-Nya:

﴿أَرَضِیتُم بِٱلۡحَیَوٰةِ ٱلدُّنۡیَا مِنَ ٱلۡـَٔاخِرَةِۚ فَمَا مَتَـٰعُ ٱلۡحَیَوٰةِ ٱلدُّنۡیَا فِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ إِلَّا قَلِیلٌ﴾ [التوبة: ٣٨]

Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan di dunia (dibanding dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (QS. at-Taubah [9]: 38).

Dari sini sekali lagi penulis tekankan bahwa dalam pandangan al-Qur’an bahkan dalam pandangan ayat ini pun, kehidupan dunia tidaklah seimbang dengan kehidupan akhirat. Perhatian pun semestinya lebih banyak diarahkan kepada akhirat sebagai tujuan, bukan kepada dunia, karena ia hanya sarana yang dapat mengantar ke sana.

Larangan melakukan perusakan setelah sebelumnya telah diperintahkan berbuat baik, merupakan peringatan agar tidak mencampuradukkan antara kebaikan dan keburukan. Sebab keburukan dan perusakan merupakan lawan kebaikan. Penegasan ini - walau sebenarnya perintah berbuat baik telah berganti pula larangan berbuat keburukan - disebabkan karena sumber-sumber kebaikan dan keburukan sangatlah banyak, sehingga boleh jadi ada yang lengah dan lupa bahwa berbuat kejahatan terhadap sesuatu sambil berbuat ihsan walau kepada yang banyak - masih - merupakan hal yang bukan ihsan. Begitu lebih kurang Ibn ‘Asyur.

Perusakan (yang) dimaksud menyangkut banyak hal. Di dalam al-Qur’an ditemukan contoh-contohnya. Puncaknya adalah merusak fitrah kesucian manusia, yakni tidak memelihara tauhid yang telah Allah anugerahkan kepada setiap insan. Di bawah peringkat itu ditemukan keengganan menerima kebenaran dan pengorbanan nilai-nilai agama, seperti pembunuhan, perampokan, pengurangan takaran dan timbangan, berfoya-foya, pemborosan, gangguan terhadap kelestarian lingkungan, dan lain-lain.

~

Wa Allah a’lam
Achmad Syarif S
Achmad Syarif S Saya seorang santri dan sarjana pertanian. Menulis adalah cara saya bercerita sekaligus berwisata

Post a Comment