Mbah Anwar Zahid: Manusia Mudanya Seperti Ilir, Dewasanya (Harus) Jadi Cah Angon
Table of Contents
Lir-ilir lir-ilir, menunjukkan makna perjalanan manusia. Hidup manusia ketika masih muda itu digambarkan seperti ilir (kipas), yang bergerak menyamping atau horizontal (kiri-kanan). Apa yang dicari? Orientasinya hanya 2.
Yang pertama adalah tandure wus sumilir, tak ijo royo-royo, yakni tanaman yang subur hijau siap panen, melambangkan kemapanan ekonomi, atau perihal kebutuhan hidup mandiri. Yang kedua, tak sengguh temanten anyar, yang melambangkan aspek kebutuhan seksual, atau perihal kebutuhan hidup berkeluarga.
“Itu kalau masih muda. Nah kalau sudah menginjak usia
dewasa, jangan mau hanya menjadi seperti ilir (kipas), tapi berubahlah menjadi
seperti cah angon (penggembala),” tutur mbah Anwar Zahid pada satu mauidhoh hasanah di Sragen.
Lalu, apa yang dingon (digembalakan)?
Minimal angon (menggembala) dirinya sendiri, dzohiron wa bathinan, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Pikiran, harus dingon, untuk tafakkur, angen-angen ciptaan Allah swt, diambil
ilmunya, diambil hikmahnya. Mata, pandangan untuk memandang yang indah-indah,
ayat-ayat al-Qur’an, ayat-ayat kekuasaan Allah swt. Lisan, anggota tubuh yang sangat penting untuk dingon, misalnya menghindari dari kebiasaan membicarakan aib orang
lain, apalagi mengujar kebencian dan permusuhan. Tangan, juga dingon. Untuk
bekerja, meringankan kesulitan orang lain, membantu yang membutuhkan. Termasuk
jempol, yang pada zaman sekarang sudah mewakili lisan di dunia maya, misalnya
berlaku bijak dalam mengirim pesan atau komentar di sosial media. Kaki juga
harus dingon, untuk naik. Naik derajatnya.
Naik untuk memanjat. Memanjat apa? Penekno blimbing kuwi. Memanjat belimbing. Jika ditafsiri otak-atik mathuk, belimbing itu bergerigi 5. Bisa merupakan rukun Islam, shalat fardhu, bahkan Pancasila.
Naik untuk memanjat. Memanjat apa? Penekno blimbing kuwi. Memanjat belimbing. Jika ditafsiri otak-atik mathuk, belimbing itu bergerigi 5. Bisa merupakan rukun Islam, shalat fardhu, bahkan Pancasila.
Belimbing 5 itu ada singkronisasi, yakni 5 itu yang
diamalkan, butuh keistiqomahan (Lunyu-lunyu penekno). Yang di antaranya adalah doa 5 (pada QS. al-Ahqaf: 15).
Bagi saya, lima itu barangkali dapat digunakan untuk membasuh pakaian (Kanggo basuh dodotiro) yang bisa jadi merupakan pakaian taqwa, yakni menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dodotiro, dodotiro, kumitir bedah ing pinggir, karena naik turunnya iman kita tiap waktu, maka pakaian ini selayaknya senantiasa diperbaiki (Dondomono, jlumatono), sebagai bekal nanti sore sowan (berjumpa) kepada Allah swt (kanggo sebo mengko sore).
Bagi saya, lima itu barangkali dapat digunakan untuk membasuh pakaian (Kanggo basuh dodotiro) yang bisa jadi merupakan pakaian taqwa, yakni menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dodotiro, dodotiro, kumitir bedah ing pinggir, karena naik turunnya iman kita tiap waktu, maka pakaian ini selayaknya senantiasa diperbaiki (Dondomono, jlumatono), sebagai bekal nanti sore sowan (berjumpa) kepada Allah swt (kanggo sebo mengko sore).
Mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane, yang
bisa diartikan sebagai mumpung ada kesempatan, mari dimanfaatkan dengan
kebaikan-kebaikan dengan sebaik-baiknya.
Yang kemudian diakhiri dengan do surako, surak hiyo, bahwa hidup harus diakhiri dengan rasa gembira, gembira berjumpa dengan Tuhannya.
Yang kemudian diakhiri dengan do surako, surak hiyo, bahwa hidup harus diakhiri dengan rasa gembira, gembira berjumpa dengan Tuhannya.
Wa Allah a’lam.
Disarikan dari pengajian mbah KH. Anwar Zahid.
Video Youtube:
Post a Comment