Dijadikan Indah bagi Manusia Kecintaan kepada Aneka Syahwat (Ali Imran: 15)

Table of Contents
Dijadikan Indah bagi Manusia Kecintaan kepada Aneka Syahwat (Tafsir Al-Mishbah)

Ada satu ayat yang masyhur kita temukan dalam al-Qur’an, yakni yang berbunyi (زين للناس حب الشهوات). Ayat ke-15 dari surat Ali Imran ini mengandung penjelasan tentang bagaimana selayaknya sikap kita memandang syahwat, apakah kita jadikan tujuan hidup kita (di dunia), ataukah hanya sebagai perantara untuk mencapai ridha-Nya sebagai bekal hidup kita (di akhirat)?

Berikut kutipan dari Tafsir Al-Mishbah, dengan beberapa penyesuaian.

~

Dijadikan indah bagi manusia kecintaan kepada aneka syahwat, yakni aneka keinginan. Syahwat adalah kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu yang bersifat inderawi, material.

Jika ayat di atas diperhatikan, yang dijadikan indah adalah kecintaan, bukan hal-hal yang akan disebutnya. Bisa jadi yang disebut dalam rinciannya itu bukan merupakan dorongan hati yang sulit atau tidak terbendung. Tetapi kalau ia telah dicintai oleh seseorang, maka ketika itu ia menjadi sulit atau tidak terbendung.

Hal-hal yang dicintai adalah keinginan terhadap wanita-wanita, anak-anak lelaki, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang.

Kini kita berusaha menjawab, siapa yang memperindah hal-hal di atas dalam pandangan manusia? Siapa yang menjadikan syahwat buat mereka?

Anda dapat berkata, bahwa yang memperindah adalah Allah. Adalah merupakan fitrah, yakni bawaan manusia sejak kelahirannya, bahwa dia mencintai lawan jenisnya, serta harta benda yang beraneka ragam.

Perlu diingat, bahwa ketika al-Qur’an mengakui dan menegaskan adanya kecintaan kepada syahwat-syahwat itu, atau dengan kata lain dorongan-dorongan untuk melakukan aktivitas kerja, ia juga menggarisbawahi dorongan yang seharusnya lebih besar, yakni memperoleh “apa yang berada di sisi Allah.” Karena itu, ayat di atas diakhiri dengan pernyataan (والله عنده حسن المآب) wa Allahu ‘indahu husnu al-ma’ab. Di sisi Allah terdapat kesudahan yang baik. Jika demikian, pandangan seseorang harus melampaui batas masa kini dan masa depannya yang dekat, menuju masa depan yang jauh.

Visi masa depan yang jauh merupakan etika pertama dan utama dalam setiap aktivitas, sehingga pelakunya tidak sekedar mengejar keuntungan sementara/duniawi yang segera habis, tetapi selalu berorientasi masa depan. Dari sini pula al-Qur’an mengingatkan, bahwa sukses yang diperoleh mereka yang berpandangan dekat bisa melahirkan penyesalan, dan bahwa kelak - di masa depan - mereka akan merugi dan dikecam. Lihat QS al-Isra’ [17]: 18-19.

Demikianlah makna dan pesan ayat di atas, bila dipahami bahwa yang memperindah syahwat itu adalah Allah swt. Jika demikian, keseluruhan apa yang disebut di atas, pada dasarnya baik, karena itu lanjutan ayat tersebut menyatakan, “Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik.”

Kesenangan hidup dilukiskan oleh ayat di atas dengan istilah (متاع) mata’, yang makna asalnya adalah kesenangan yang mudah diperoleh lagi sementara.

Namun jika berlaku kebalikannya, yakni kalau yang memperindahnya adalah setan, maka syahwat-syahwat tersebut menjadi tujuan. Ia diupayakan dan dimanfaatkan untuk tujuan di sini dan sekarang, di dunia ini, bukan di akhirat kelak.

Seks, jika diperindah setan, maka ia dia jadikan tujuan. Cara dan dengan siapapun, tidak lagi diindahkan. Yang penting dilampiaskan walau secara kotor sekalipun.

Jika setan memperindah kecintaan kepada anak, maka subjektivitas akan muncul, bahkan karena cintanya, orang tua membela anaknya walau salah. Dia memberinya walau melanggar, bahkan menganiaya orang lain, walau temannya yang akrab.

Jika harta yang dicintakan setan kepada manusia, maka dia akan menghalalkan segala cara untuk memperolehnya, dia akan menumpuk dan menumpuk serta melupakan fungsi sosial harta, demikian seterusnya.

Yang dilukiskan di atas, tidak dikehendaki Allah, dan bukan itu tujuan Allah memperindah syahwat-syahwat itu untuk manusia.

~

Semoga dengan ini kita menjadi ingat untuk selalu memandang syahwat yang dianugerahkan kepada kita sebagai bekal untuk berbuat baik seraya beribadah kepada Allah swt.

Wa Allah a’lam
Achmad Syarif S
Achmad Syarif S Saya seorang santri dan sarjana pertanian. Menulis adalah cara saya bercerita sekaligus berwisata

Post a Comment