Renungan Di Kala Susah (dan Mudah)
Table of Contents
Satu waktu, kadang kita merasakan kemudahan. Misalnya, setelah menjalani rutinitas kerja dalam sehari, disertai shalat, doa, bahkan nderes juga. Namun pernah ndak sih, kita merasa “kok rasanya hambar ya?” Meskipun kita merasa mendapatkan kemudahan, tapi kita tidak mampu merasakan sense-nya. Seperti kurang ada manis-manisnya gitu.
Mungkin, (seperti yang dikatakan para ahli), keseharian kita yang menjadi rutinitas itu hampir menjadi bagian kerja alam bawah sadar kita. Ya.. hanya berjalan begitu saja. Tau-tau sampai. Seperti terasa aman-aman saja. Merasa segalanya mudah.
Kemudian terpikir dalam benak kita, pada saat kita didatangi satu kesulitan, misal sakit, keuangan menipis, atau gangguan fisik maupun mental (eh pikiran, maksud saya), barangkali kita menjadi merasa terganggu, bahkan merasa susah dan terancam (ya, pokoknya, tidak enak begitu). Nah dalam kondisi itu timbullah pertanyaan, “Salah saya apa ya?” atau mengeluh pada Allah, “Duh Gusti, nyuwun paringi gampang”, dan sebagainya (padahal sebelumnya sudah diberi gampang lho, hehe).
Kalo kata kalam bijak, “Ya namanya saja hidup, ada mudah pasti ada susah. Ada senang pasti ada sedih.” begitu seterusnya.
Jika kita ingin berpikir sederhana, ya bisa jadi mindset kita selayaknya seperti itu. Namun jika direnungi lebih jauh, apa iya, saat kita diberi kelonggaran, shalat kita, doa, aktivitas sehari-hari kita berjalan lancar-lancar saja, tapi kurang berasa ada manis-manisnya gitu. Apa jangan-jangan, Gusti Allah memberi kesulitan itu adalah sebagai variasi, yang tujuannya untuk menguji kita, untuk bisa lebih istiqomah (karena kita sebelumya sudah benar)? Atau untuk menegur kita (karena kita sebelumnya salah)?
Ya, memang hanya Tuhan yang tahu. Namun pada titik itu, jika kita mencoba berpikir lebih dalam, seperti kata para guru, lebih baik kita memposisikan diri pada perasaan bersalah (ngroso ino). Yakni kesulitan itu dianggap sebagai cara untuk memperbaiki diri, melihat apa yang keliru dan kurang pantas sebelumnya kemudian kita koreksi.
Yang ini berarti, adanya kesulitan yang kita peroleh (bahkan setelah kita diberi kemudahan), adalah untuk meningkatkan kapasitas diri, seraya introspeksi.
Seperti halnya kita sebagai anak, sering ditegur orang tua karena salah. Sebagai murid, sering diberatkan dengan tugas atau hafalan-hafalan. Selaku bawahan, harus manut pada perintah atasan. Dan sebagainya.
Mungkin saja, selayaknya kita kembali pada rumus “Bersama kesulitan ada kemudahan. Jika sudah selesai, maka lanjutlah pada pekerjaan lain. Dan berharap hanya kepada Allah.” Seperti kutipan Tafsir Al-Mishbah pada surah Al-Insyiroh ini.
Wa Allah a’lam.
Post a Comment