Belajar Meneladani Uswah (Hasanah) pada (Diri) Rasulullah (Al-Ahzab: 21)

Table of Contents
Belajar Meneladani Uswah (Hasanah) pada (Diri) Rasulullah - Tafsir Al Mishbah)

Melalui peringatan maulid Nabi, selain dengan memperbanyak membaca shalawat, selayaknya kita juga mau untuk senantiasa belajar meneladani beliau selaku uswatun hasanah. Dalam surah al-Ahzab ayat 21, Prof. Dr. M. Quraish Shihab menjelaskan tentang uswah pada diri Rasulullah saw sebagai berikut (dengan sedikit suntingan).

~

Kata (أسوة) uswah berarti teladan. Kata (في) fi dalam firman-Nya: (في رسول الله) fi rasulillah berfungsi “mengangkat” dari diri Rasul satu sifat yang hendaknya diteladani, tetapi ternyata yang diangkatnya adalah Rasul saw sendiri dengan seluruh totalitas beliau. Demikian banyak ulama’.

Ayat ini, walau berbicara dalam konteks Perang Khandaq, tetapi ia mencakup kewajiban atau anjuran meneladani beliau walau di luar konteks tersebut. Ini karena Allah swt telah mempersiapkan tokoh agung ini untuk menjadi teladan bagi semua manusia. Yang Maha Kuasa itu sendiri yang mendidik beliau. “Addabani Rabbi, fa ahsana ta’dibii” (Tuhanku mendidikku, maka sungguh baik hasil pendidikanku). Demikian sabda Rasul saw.

‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad dalam bukunya ‘Abqariyat Muhammad menjelaskan: Ada empat tipe manusia, yaitu Pemikir, Pekerja, Seniman, dan yang jiwanya larut di dalam ibadah. Jarang ditemukan satu pribadi yang berkumpul dalam dirinya dan dalam tingkat yang tinggi dua dari keempat kecenderungan atau tipe tersebut, dan mustahil keempatnya berkumpul pada diri seseorang. Namun yang mempelajari pribadi Muhammad saw akan menemukan bahwa keempatnya bergabung dalam peringkatnya yang tertinggi pada kepribadian beliau. Berkumpulnya keempat kecenderungan atau tipe manusia itu dalam kepribadian Rasul, dimaksudkan agar seluruh manusia dapat meneladani sifat-sifat terpuji pada pribadi ini.

Lalu kemudian muncul pertanyaan, jika kepribadian beliau secara totalitasny adalah teladan, maka apakah itu berarti segala sesuatu yang bersumber dari beliau adalah harus diteladani?

Imam al-Qarafi, merupakan ulama pertama, yang menegaskan pemilihan-pemilihan rinci menyangkut sikap/ucapan Nabi Muhammad saw. Menurutnya, Nabi Muhammad saw dapat berperan sebagai Rasul, atau Mufti, atau Hakim Agung, atau Pemimin masyarakat, dan dapat juga sebagai seorang manusia, yang memiliki kekhususan-kekhususan yang membedakan beliau dari manusia-manusia lain, sebagaimana perbedaan seorang dengan lainnya.

Dalam kedudukan beliau sebagai 1) Nabi dan Rasul, maka ucapan dan sikapnya pasti benar, karena itu bersumber langsung dari Allah swt atau merupakan penjelasan tentang maksud Allah.

2) Sebagai Mufti, fatwa-fatwa beliau berkedudukan setingkat dengan butir pertama di atas, karena fatwa beliau adalah berdasar pemahaman atas teks-teks keagamaan, di mana beliau diberi wewenang oleh Allah untuk menjelaskannya, fatwa beliau berlaku umum bagi semua manusia.

3) Adapun dalam kedudukan beliau sebagai Hakim, maka ketetapan hukum yang beliau putuskan – secara formal pasti benar, tetapi secara material ada kalanya keliru akibat kemampuan salah satu pihak yang berselisih menyembunyikan kebenaran atau kemampuannya berdalih dan mengajukan bukti-bukti palsu.

Selanjutnya selaku 4) Pemimpin masyarakat maka tentu saja petunjuk-petunjuk beliau dalam hal kemasyarakatan disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan perkembangannya, sehingga tidak tertutup kemungkinan lahirnya perbedaan tuntunan kemasyarakatan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, bahkan masyarakat yang sama dalam kurun waktu yang berbeda. Rasul saw sendiri tidak jarang memberi petunjuk yang berbeda untuk sekian banyak orang yang berbeda dalam menyesuaikan dengan masing-masing mereka. Tidak jarang pula ada ketetapan bagi masyarakatnya yang beliau ubah akibat perkembangan masyarakat itu, misalnya dalam sabda beliau: “Saya pernah melarang kalian menziarahi kubur; kini silakan menziarahinya.” Izin ini, disebabkan karena kondisi masyarakat telah berbeda dengan kondisi mereka pada saat larangan itu ditetapkan. Termasuk dalam kategori ini, hal-hal yang diperagakan beliau dalam kaitannya dengan budaya masyarakat di mana beliau hidup, seperti model pakaian, rambut, cara makan dan lainnya.

Akhirnya, yang kelima adalah selaku pribadi, yang dalam hal ini ia dapat dibagi dalam dua kategori besar. a) Kekhususan-kekhususan beliau yang tidak boleh dan atau tidak harus diteladani, karena kekhususan tersebut berkaitan dengan fungsi sebagai Rasul, misalnya kebolehan menghimpun lebih dari empat orang istri dalam saat yang sama, atau kewajiban shalat malam, atau larangan menerima zakat dan lain-lain. b) Sebagai manusia (terlepas dari kerasulannya), seperti dalam soal selera.

Kembali kepada soal uswah/keteladanan. “Apakah hal-hal yang bersifat pribadi, atau yang berkaitan dengan kondisi sosial budaya, adalah termasuk yang (perlu) diteladani?

Salah satu jawaban yang dikemukakan para pakar adalah, memilah-milah keteladanan itu sesuai dengan sikap Nabi seperti yang dijelaskan di atas. Apa yang dilakukan beliau, selama bukan merupakan kekhususan yang berkaitan dengan kerasulan (butir 5a), dan bukan juga merupakan penjelasan ajaran agama (butir 1 dan 2), maka hal itu harus diteliti lagi. Jika ia diperagakan dalam kaitannya dengan upaya mendekatkan diri kepada Allah (ibadah mahdhah-red), maka ia termasuk bagian yang diteladani, seperti misalnya membuka alas kaki ketika shalat. Sebaliknya, jika yang dilakukan beliau tidak seperti dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt, maka hal ini hanya menunjukkan bahwa yang demikian dapat diikuti (berstatus mubah), seperti memakai jubah, sandal berwarna kuning, rambut gondrong, dan lain-lain. Namun bila ada yang mengikutinya dengan niat medeladani Nabi saw, maka niat keteladanan itu mendapat ganjaran dari Allah swt.

Perlu digarisbawahi bahwa ayat yang berbicara tentang uswah, dirangkaikan dengan kata Rasulillah (لقد كان لكم في رسول الله) laqad kaana lakum fii Rasulillah / sesungguhnya telah ada buat kamu pada diri Rasulullah. Namun demikian, tidaklah mudah memisahkan atau memilah, mana pekerjaan/ucapan yang bersumber dari kedudukan beliau sebagai rasul dan mana pula dalam kedudukan-kedudukan lainnya.

~

Meneladani beliau dengan langsung melihat Al-Qur’an dan Hadits rasa-rasanya akan sulit sekali kita lakukan. Oleh karenanya, bagi saya, akan menjadi lebih mudah jika kita meneladai beliau melalui cerita-cerita atau pelajaran yang disampaikan oleh ulama’-ulama’ yang kita percayai. Jika ulama’ adalah pewaris para Nabi, maka selayaknya kita juga dapat meneladani Nabi melalui ulama’-ulama’ (yang kita anggap dapat dijadikan sebagai teladan).

Wa Allah a’lam.
Achmad Syarif S
Achmad Syarif S Saya seorang santri dan sarjana pertanian. Menulis adalah cara saya bercerita sekaligus berwisata

Post a Comment