Menghayati Peng-Hamba-an diri dalam Lafadz Na’budu (Al-Fatihah: 5)
Table of Contents
Satu potongan ayat dari
surat al-Fatihah yang selalu kita baca setiap shalat, (نَعْبُدُ) na’budu memiliki
makna yang sangat dalam yang layak kita hayati bersama. Berikut bapak Quraish
Shihab dalam Tafsirnya memaparkan.
~
Kata (نَعْبُدُ) na’budu biasa
diterjemahkan dengan “menyembah, mengabdi, dan taat”. Dari akar kata yang sama
dibentuk kata ‘Abdullah yang arti harfiahnya adalah “hamba Allah”.
Dalam kamus-kamus
bahasa, ‘Abd atau Abdi mempunyai sekian banyak arti. Ada di antaranya yang
bertolak belakang. Kata tersebut dapat menggambarkan “kekokohan” tapi juga
“kelemahlembutan”. ‘Abd dapat berarti “hamba sahaya, anak panah yang pendek dan
lebar”. Makna ini menggambarkan kekokohan. Dapat juga berarti tumbuhan yang
memiliki aroma yang harum. Ini menggambarkan kelemahlembutan.
Apabila seseorang
menjadi ‘abd (abdi) sesuatu, anggaplah sebagai “abd(i) negara”, maka ketiga
arti di atas merupakan sifat dan sikapnya yang menonjol.
Seorang hamba tidak
memiliki sesuatu. Apa yang dimilikinya adalah milik tuannya. Dia adalah anak
panah yang dapat digunakan tuannya untuk tujuan yang dikehendaki sang tuan, dan
dalam saat yang sama dia juga harus mampu memberi aroma yang harum bagi
lingkungannya.
“Pengabdian bukan
hanya sekadar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan
dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa
seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi, serta sebagai dampak dari
keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang
tidak terjangkau arti hakikatnya.” Demikian lebih kurang penjelasan Syekh
Muhammad Abduh.
Imam Ja’far ash-Shadiq
– sebagaimana dikutip oleh Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Raka’iz al-Iman
mengemukakan tiga unsur pokok yang merupakan hakikat ibadah. 1) Si Pengabdi
tidak menganggap apa yang berada dalam genggaman tangannya sebagai miliknya,
karena yang dinamai hamba tidak memiliki sesuatu. Apa yang “dimilikinya” adalah
milik tuannya. 2) Segala usahanya hanya berkisar pada mengindahkan apa yang
diperintahkan oleh siapa yang kepadanya ia mengabdi. 3) Tidak memastikan
sesuatu untuk dia laksanakan kecuali mengaitkannya dengan izin dan restu siapa
yang kepadanya dia mengabdi.
Ketika seorang
menyatakan iyyaka na’budu maka ketika itu tidak sesuatu apapun, baik
dalam diri seseorang maupun yang berkaitan dengannya, kecuali telah dijadikan
milik Allah. Memang, sega;a aktivitas manusia harus berakhir menjadi ibadah
kepada-Nya sedang puncak ibadah adalah Ihsan.
Wajar sekali, surah yang tema utamanya adalah pengawasan akan kehadiran Allah swt, menjadi bacaan wajib setiap dalam setiap rakaat shalat, dalam arti tidak sah shalat tanpa membacanya. Karena substansi shalat adalah menghadap kepada Allah dan merasakan kebesaran-Nya.
Wa Allah a'lam
Post a Comment