Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Tabayyun pada Bani al-Musthalaq (Al-Hujurat: 6)

Kisah Tabayyun pada Bani al-Musthalaq

QS al-Hujurat ayat 6 menjadi sangat penting untuk dikaji karena menyangkut tentang tuntunan penerimaan dan pengamalan berita, yang berpengaruh pada situasi kehidupan masyarakat. Berikut paparan bapak Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah.

~

Sabab Nuzul
Ayat ini menurut banyak ulama turun menyangkut kasus al-Walid Ibn ‘Uqbah Ibn Abi Mu’ith yang ditugaskan Nabi saw menuju ke Bani al-Musthalaq untuk memungut zakat.

Ketika anggota masyarakat yang dituju itu mendengar tentang kedatangan utusan Nabi saw yakni al-Walid, mereka keluar dari perkampungan mereka untuk menyambutnya sambil membawa sedekah mereka, tetapi al-Walid menduga bahwa mereka akan menyerangnya.

Karena itu, ia kembali sambil melaporkan kepada Rasul saw bahwa Bani al-Musthalaq enggan membayar zakat dan bermaksud menyerang Nabi saw (dalam riwayat lain dinyatakan bahwa mereka telah murtad).

Rasul saw marah dan mengutus Khalid Ibn Walid menyelidiki keadaan sebenarnya sambil berpesan agar tidak menyerang mereka sebelum duduk persoalan menjadi jelas. Khalid ra mengutus seorang informannya menyelidiki perkampungan Bani al-Musthalaq yang ternyata menyarakat desa itu mengumandangkan adzan dan melaksanakan shalat berjamaah.

Khalid kemudian mengunjungi mereka lalu menerima zakat yang telah mereka kumpulan. Riwayat lain menyatakan bahwa justru mereka yang datang kepada Rasul saw menyampaikan zakat sebelum Khalid Ibn Walid melangkah ke perkampungan mereka.

Ada riwayat lain tentang sabab nuzul ayat ini, namun yang jelas ia berpesan bahwa: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu seorang fasik membawa suatu berita yang penting, maka bersungguh-sungguhlah mencari kejelasan yakni telitilah kebenaran informasinya dengan menggunakan berbagai cara agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan tentang keadaan yang sebenarnya dan yang pada gilirannya dan dengan segera menyebabkan kamu atas perbuatan kamu itu beberapa saat saja setelah terungkap hal yang sebenarnya menjadi orang-orang yang menyesal atas tindakan kamu yang keliru.

Ikhtilaf Ulama
Berbeda pendapat ulama tentang kasus turunnya ayat ini. Ada yang menolak riwayat tersebut sehingga riwayat ini tidak dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa ada sebagian sahabat Nabi yang tidak dapat diakui integritasnya.

Ada lagi yang membenarkannya, sambil menyatakan bahwa al-Walid Ibn ‘Uqbah salah paham menyangkut Bani al-Musthalaq, apalagi sebelumnya telah ada permusuhan antara mereka dengan al-Walid yang pernah membunuh salah seorang keluarga mereka. Yang salah paham tentunya tidak berdosa.

Ada lagi yang mempersalahkan al-Walid, dengan alasan jika dia salah paham maka sewajarnya kesalahpahamannya itu dia sampaikan kepada Nabi saw, sambil berkata: “Saya duga mereka akan memmbunuhku,” dan tidak memfitnah dengan menyatakan: “Mereka enggan membayar zakat.” Dengan demikian, dialah yang dimaksud dengan kata fasiq pada ayat ini, apalagi sejarah hidupnya menunjuk ke arah sana.

Banyak ulama yang menyatakan bahwa al-Walid ditugaskan oleh Sayyidina Utsman ra sebagai penguasa kota Kufah di Irak, dan pada suatu ketika dalam keadaan mabuk dia memimpin shalat subuh sebanyak empat rakaat. Ketika dia ditegur, dia berkata: “Maukah aku tambah lagi rakaat-rakaatnya?” Akhirnya dia dipecat oleh Sayyidina Utsman ra. Demikian antara lain al-Biqai.

Kesimpulan
Ayat di atas merupakan salah satu dasar yang ditetapkan agama dalam kehidupan sosial sekaligus ia merupakan tuntunan yang sangat logis bagi penerimaan dan pengalaman suatu berita. Kehidupan manusia dan interaksinya haruslah didasarkan hal-hal yang diketahui dan jelas. Manusia sendiri tidak dapat menjangkau seluruh informasi, karena itu ia membutuhkan pihak lain.

Pihak lain itu ada yang jujur dan memiliki integritas sehingga hanya menyampaikan hal-hal yang benar, dan ada pula sebaliknya. Karena itu pula berita harus disaring, khawatir jangan sampai seseorang melangkah tidak dengan jelas (atau dalam bahasa ayat di atas bi jahalah).

Dengan kata lain, ayat ini menuntut kita untuk menjadikan langkah kita berdasarkan pengetahuan (sebagai lawan dari jahalah yang berarti kebodohan), di samping melakukannya berdasar pertimbangan logis dan nilai-nilai yang ditetapkan Allah swt (sebagai lawan dari makna kedua dari jahalah).

Wa Allah a’lam
Achmad Syarif S
Achmad Syarif S Bermedia dalam Jeda

Post a Comment for "Kisah Tabayyun pada Bani al-Musthalaq (Al-Hujurat: 6)"