Husnudzzon Pada Allah Seperti Tamu yang Menghadiri Undangan
Table of Contents
Beberapa waktu lalu keluarga saya mendapat giliran menjadi tuan rumah acara juz-juzan (muqoddaman) di kampung. Waktu itu, saat acara hampir dimulai, tamu yang datang sudah cukup banyak, sehingga tempat parkir terlihat penuh. Akhirnya, dibuatlah keputusan, jika ada yang hadir lagi, kendaraannya diberhentikan dan diparkirkan di ruas jalan sebelum gang masuk. Alhasil, tamu yang datang akhir-akhir harus jalan kaki lebih jauh daripada yang datang lebih awal.
Saya kemudian kepikiran, "Kalau seandainya saja saya menjadi tamu itu, pasti bertanya-tanya, mengapa saya tak boleh masuk? wah jalan kaki lumayan jauh nih, misalnya."
Apa yang terbesit pada benak saya, menimbulkan satu perumpamaan menarik.
Perumpamaan bahwa "kita (selayaknya) punya husnudzzon kepada Allah", seperti seorang tamu yang datang pada satu undangan. Tamu itu (selayaknya) punya husnudzzon kepada tuan rumah; mau diarahkan ke mana parkir kendaraannya, ditunjuki jalannya, dipersilakan duduknya, dimuliakan dengan hidangan sedemikian rupa. Meskipun jarak antara parkir dan tempat acara jauh, tapi itulah (kenyataan) yg terbaik. Jika tamu tidak manut, mungkin, keadaan akan menjadi tidak sebaik yang seharusnya.
Pada intinya, kita (tamu) selayaknya (selalu) punya rasa husnuddzon kepada Allah (tuan rumah, dunia seisinya). Tuan rumah, pastilah lebih mengetahui kebaikan-kebaikan yang ada, daripada tamu yang hadir (yang hanya sekedar mampir). Meskipun tamu harus menempuh jalan yang (kelihatannya) lebih rekoso bila dibandingkan dengan yang lain.
Wa Allah a'lam
Pada intinya, kita (tamu) selayaknya (selalu) punya rasa husnuddzon kepada Allah (tuan rumah, dunia seisinya). Tuan rumah, pastilah lebih mengetahui kebaikan-kebaikan yang ada, daripada tamu yang hadir (yang hanya sekedar mampir). Meskipun tamu harus menempuh jalan yang (kelihatannya) lebih rekoso bila dibandingkan dengan yang lain.
Wa Allah a'lam