Hikmah Itu adalah Syukur (Luqman: 12)

Table of Contents


Berangkat dari keterangan yang lalu tentang hikmah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab memaparkan kembali makna hikmah yang tidak lain adalah syukur, seperti kutipan dari Tafsir beliau pada surat Luqman ayat 12 sebagai berikut.

~

Kata syukur terambil dari kata syakara yang maknanya berkisar antara lain pada pujian dan kebaikan, serta penuhnya sesuatu. Syukur manusia kepada Allah dimulai dengan menyadari dari lubuk hatinya yang terdalam betapa besar nikmat dan anugerah-Nya, disertai dengan ketundukan dan kekaguman yang melahirkan rasa cinta kepada-Nya, dan dorongan untuk memuji-Nya dengan ucapan sambil melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya dari penganugerahan itu.

Syukur didefinisikan oleh sementara ulama dengan memfungsikan anugerah yang diterima sesuai dengan tujuan penganugerahannya. Ia adalah menggunakan nikmat sebagaimana yang dikehendaki oleh penganugerahnya, sehingga penggunaannya itu mengarah sekaligus menunjuk penganugerah.

Tentu saja untuk maksud ini, yang bersyukur perlu mengenal siapa penganugerah (dalam hal ini Allah swt), mengetahui nikmat yang dianugerahkan kepadanya, serta fungsi dan cara menggunakan nikmat itu sebagaimana dikehendaki-Nya, sehingga yang dianugerahi nikmat itu benar-benar menggunakannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Penganugerah.

Hanya dengan demikian, anugerah dapat berfungsi sekaligus menunjuk kepada Allah. Sehingga ini pada gilirannya mengantar kepada pujian kepada-Nya yang lahir dari rasa kekaguman atas diri-Nya dan kesyukuran atas anugerah-Nya.

Firman-Nya: (ان اشكر لله) an usykur lillah adalah hikmah itu sendiri yang dianugerahkan kepadanya itu. Anda tidak perlu menimbulkan dalam benak anda kalimat: Dan Kami katakan kepadanya: “Bersyukurlah kepada Allah.” Demikian tulis Thabathaba’i. Dan begitu juga pendapat banyak ulama antara lain al-Biqa’i yang menulis bahwa “Walaupun dari segi redaksional ada kalimat Kami katakan kepadanya, tetapi makna akhirnya adalah Kami anugerahkan kepadanya syukur.” Sayyid Quthub menulis bahwa: “Hikmah, kandungan dan konsekuensinya adalah syukur kepada Allah.”

Bahwa hikmah adalah syukur, karena dengan bersyukur seperti dikemukakan di atas, seseorang mengenal Allah dan mengenal anugerah-Nya. Dengan mengenal Allah, seseorang akan kagum dan patuh kepada-Nya, dan dengan mengenal dan mengetahui fungsi anugerah-Nya, seseorang akan memiliki pengetahuan yang benar, lalu atas dorongan kesyukuran itu, ia akan melakukan amal yang sesuai dengan pengetahuannya, sehingga amal yang lahir adalah amal yang tepat pula.

Ayat di atas menggunakan bentuk mudhari’/kata kerja masa kini dan datang untuk menunjuk kesyukuran (يشكر) yasykur, sedang ketika berbicara tentang kekufuran, digunakan bentuk kata kerja masa lampau (كفر). Al-Biqa’i memperoleh kesan dari penggunaan bentuk mudhari’ itu bahwa siapa yang datang kepada Allah pada masa apapun, Allah menyambutnya dan anugerh-Nya dakan senantiasa tercurah kepada-Nya sepanjang amal yang dilakukannya. 

Di sisi lain, kesyukurannya itu hendaknya ditampilkan secara bersinambung dari saat ke saat. Sebaliknya, penggunaan bentuk kata kerja masa lampau pada kekufuran/ketiadaan syukur (كفر) adalah untuk berpaling dan tidak menghiraukannya. Thabathaba’i memperoleh kesan lain. Menurutnya, penggunaan kata kerja mudhari’ pada kata syukur, mengisyaratkan bahwa syukur baru bermanfaat jika bersinambung, sedang mudarat kekufuran telah terjadi walalu baru sekali.

Dapat juga dikatakan bahwa kekufuran yang berbentuk kata kerja masa lampau itu, mengesankan bahwa kekufuran atau ketidaksyukuran, kalau dahulu pernah ada, maka hendaknya untuk masa kini dan datang ia dihindari dan tidak perlu ada lagi.

Wa Allah a'lam
Achmad Syarif S
Achmad Syarif S Saya seorang santri dan sarjana pertanian. Menulis adalah cara saya bercerita sekaligus berwisata

Post a Comment