Menyadari Petunjuk Tuhan yang Bertingkat-tingkat (Al-Fatihah: 6)
Table of Contents
Petunjuk Tuhan bagi setiap manusia itu jelas, dan sudah pasti ada. Tinggal manusia sendiri, dengan kesadaran dan kepekaannya, apakah mau menerima bahkan menjadikan petunjuk itu sebagai jalan menuju Tuhannya.
Berikut penjabaran beberapa macam tingkat petunjuk oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Surah al-Fatihah ayat 6.
~
Allah swt menuntun setiap makhluk kepada apa yang perlu dimilikinya dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dialah yang memberi hidayah kepada anak ayam memakan benih ketika baru saja menetas, atau lebah untuk membuat sarangnya dalam bentuk segi enam, karena bentuk tersebut lebih sesuai dengan bentuk badan dan kondisinya.
Petunjuk tingkat
pertama (naluri) terbatas pada penciptaan dorongan untuk mencari hal-hal yang
dibutuhkan. Naluri tidak mampu mencapai apapun yang berada di luar tubuh
pemiliki naluri itu. Nah, pada saat datang kebutuhannya untuk mencapai sesuatu
yang berada di luar dirinya, sekali lagi
manusia membutuhkan petunjuk dan kali ini Allah menganugerahkan petunjuk-Nya
berupa panca indra.
Namun, betatapun tajam
dan pekanya kemampuan indra manusia, seringkali hasil yang diperolehnya tidak
menggambarkan hakikat yang sebenarnya. Betapapun tajamnya mata seseorang, ia
akan melihat tongkat yang lurus menjadi bengkok di dalam air.
Yang meluruskan
kesalahan panca indra adalah petunjuk Allah yang ketiga yakni akal. Akal
yang mengkordinir semua informasi yang diperoleh indra kemudian membuat
kesimpulan-kesimpulan yang sedikit atau banyak dapat berbeda dengan hasil
informasi indra. Tetapi walau petunjuk akal sangat penting dan berharga,
ternyata ia hanya berfungsi dalam batas-batas tertentu dan tidak mampu menuntun
manusia keluar jangkauan alam fisika. Bidang operasinya adalah bidang alam
nyata dan dalam bidang ini pun tidak jarang manusia terperdaya oleh
kesimpulan-kesimpulan akal, sehingga akal tidak merupakan jaminan menyangkut
seluruh kebenaran yang didambakan.
“Logika adalah satu
ilmu yang dirumuskan oleh Aristoteles yang bertujuan memelihara seseorang agar
tidak terjerumus ke dalam kesalahan. Namun ternyata, ilmu itu tidak mampu
memelihara perumusnya – apalagi orang lain – dari kesalahan-kesalahan.” Demikian
tulis Syeikh Abdul Halim Mahmud, mantan guru besar dan pemimpin tertinggi
al-Azhar.
Akal dapat diibaratkan
sebagai pelampung; ia dapat menyelamatkan seseorang yang tak pandai berenang
dari kehanyutan di kolam renang, atau bahkan di tengah laut yang tenang. Tetapi
jika ombak dan gelombang telah membahana, atau datang bertubi-tubi setinggi
gunung, maka ketika itu ia yang pandai dan yang tak pandai berenang keadaannya
akan sama. Ketika itu mereka semua tidak hanya membutuhkan pelampung, tetapi
sesuatu yang melebihi pelampung. Karena itu, manusia memerlukan petunjuk yang
melebihi petunjuk akal, sekalgius meluruskan kekeliruan-kekeliruannya dalam
bidang-bidang tertentu. Petunjuk atau hidayah yang dimaksud adalah hidayah
agama.
Wa Allah a'lam.
Post a Comment