Mbah Nun: Menahan Nafsu, Nikmatnya Sangat Manis

Table of Contents
menahan nafsu
Alhamdulillah, satu waktu di Jepara, tepatnya Kamis malam Jumat, 30 Agustus 2018 saya berkesempatan hadir pada acara Ngaji Bareng Mbah Nun (Emha Ainun Najib). Jujur saja, ini adalah kali pertama saya hadir langsung di forum pertemuan beliau. Sebelumnya, saya hanya "mengikuti" dawuh-dawuh melalui rekaman-rekaman mp3 dan video-video di internet dan yang dibagikan teman-teman saya di media sosial.

Sebenarnya, amat sangat banyak sekali -ntah saking banyaknya sehingga tak bisa saya ungkapkan- ilmu-ilmu yang mengalir pada acara malam itu. Jiika saya tuangkan semuanya langsung pun, tak cukup ingatan saya untuk menuliskannya sekali di tulisan ini. Alhamdulillah saya punya rekamannya, jadi kapan pun -semoga- bisa saya tuangkan dalam beberapa tulisan di masa-masa mendatang.

Yang jelas, sumbu awal dari dawuh beliau yang saya tangkap adalah tentang cara kita hidup. Beliau ngendikan,

"Hidup itu bukan tentang caranya untuk menjadi apa atau menjadi siapa. Namun hidup itu tentang cara bagaimana menikmati segala nikmat yang diberikan oleh Gusti Allah."

Dari sini kemudian saya terbesit pertanyaan, "caranya menikmati nikmat? lha memang seperti apa caranya?

Jawabannya itu tak langsung saya dapatkan, toh karena saya pun tak mengajukan pertanyaan ke beliau secara langsung. Namun di balik penjelasan-penjelasan yang kemudian beliau sampaikan, akhirnya saya menemukan satu dawuh yang saya rasa menjadi jawaban dari pertanyaan yang timbul tadi.

"Nikmat itu terasa manis, yaitu ketika kita mampu menahan diri dari gejolak nafsu."

...................
Sebentar, mendengar dawuh itu, saya belum bisa sepenuhnya merasakan untuk kemudian menjawab, "oh ya,", "nah..", atau "betul". Karena hal itu harus lebih dihayati lagi ketika kita memang benar-benar melakukannya. Meskipun demikian, contoh yang Mbah Nun berikan setidaknya cukup untuk menjadikan saya sedikit mengiyakan dawuh itu, yaitu saat kita menahan nafsu di siang hari puasa, menahan lisan untuk tidak ngerasani tetangga, sampai contoh bagi suami yang menahan nafsu ketika hendak "mendatangi" istrinya. Untuk yang terakhir ini saya tak punya komentar (ya karena memang belum pernah mengalaminya sendiri, haha).

Sampai di sini saya dapat menyimpulkan hal sedikit tetapi sangat bermakna. Bahwa "Ayo cah, ilmune dilakoni".

Ya, saya sadari betul, memang ilmu harus disertai laku, jika tak ingin ilmunya hanya berakhir dengan hanya ilmu belaka. Ilmu yang menerangkan bahwa nikmat itu akan dirasa sangat manis ketika kita mampu menahan gejolak nafsu, adalah sesuatu yang akan saya yakini, hingga -semoga Allah mengizinkan- ilmu itu dapat saya lakukan. Maka pada waktu itu, saya akan punya keyakinan yang sangat mantap, dan -semoga juga bisa- akan menambah Iman kepada Allah SWT.

Akhirnya, "menderita" sementara dalam menahan nafsu, merasakan nikmat yang manis, menambah keyakinan pada Allah, menjadi amal yang lillahi ta'ala.
Wallahu a'lam.
Achmad Syarif S
Achmad Syarif S Saya seorang santri dan sarjana pertanian. Menulis adalah cara saya bercerita sekaligus berwisata

Post a Comment